Thursday, January 19, 2006

BID'AH HASANAH Bahagian 1

APAKAH ADA BID'AH HASANAH?

Pembicaraan kita kali ini berkenaan dengan perbincangan di seputar ada tidaknya bid'ah hasanah, karena dengan adanya istilah ini, banyak menimbulkan kerancuan dalam memahami apa itu bid'ah dan dalam mewaspadai bahaya bid'ah terhadap Islam dan Muslimin. Oleh sebab itu kami menurunkan pembahasan tentang permasalahan ini untuk kirannya dapat menjadi nasehat bagi pembaca yang budiman dalam memahami permasalahan yang sangat genting dan berbahaya tersebut.
Tulisan 1 dari 3

AWAL MULA ADANYA PENDAPAT TENTANG BID'AH HASANAH

Mula pertama adanya istilah bid'ah hasanah itu sesungguhnya dari ijtihad Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Nu'aim Al-Asfahani rahimahullah dalam kitab beliau Hilyatul Auliya' jilid 9 halaman 113 dengan sanadnya dari Harmalah bin Yahya bahwa dia menceritakan: Aku mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i menyatakan:
"Bid'ah itu ada dua: Bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela. Maka apa saja yang mencocoki As-Sunnah, berarti dia itu adalah bid'ah yang terpuji; dan yang menyelisihi As-Sunnah, maka ia adalah bid'ah yang tercela." Kata Abu Nu'aim: "Beliau berpendapat demikian, karena berhujjah dengan omongan Umar bin Al-Khattab yang mengatakan tentang Qiyam Ramadhan (yakni shalat tarawih): "Bid'ah yang baik itu adalah yang seperti ini."

Disamping omongan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang menjadi landasan bagi Asy-Syafi'i, juga omongan Al-Imam Al-Hasan Al-Basri rahimahulah, imam dari kalangan Tabi'in yang menyatakan:
"Membikin majlis di masjid yang isinya kisah-kisah yang mengandung pelajaran adalah perbuatan bid'ah, akan tetapi betapa bagusnya bid'ah yang satu ini. Berapa banyak saudara kita yang mendapat manfaat dari majlis ini. Dan betapa do'a yang dipanjatkan di majlis ini dikabulkan oleh Allah Ta'ala."

Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba' wan Nahyu Anil Ibtida' halaman 88.

Dengan keterangan yang demikian ini, khususnya yang bermadzhab Asy-Syafi'i, mereka sangat getol dalam berpendapat bahwa bid'ah itu ada yang dinamakan bid'ah hasanah dan ada pula yang dinamakan bid'ah madzmumah (yakni tercela).

Perkataan Imam Asy-Syafi'i tersebut di atas sangat berbeda dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam tentang bid'ah. Beliau bersabda:
"Dan hati-hatilah kalian dari perkara agama Islam yang baru diadakan (yakni perkara agama yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam atau tidak pernah dikenal oleh para Shahabat beliau). Karena segala perkara baru itu adalah bid'ah dan seluruh yang dinamakan bid'ah itu adalah sesat dan segenap orang yang sesat dan mati dalam keadaan tidak taubat dari padanya, maka ia di neraka." (HR. An-Nasa'i dan At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: Hadits HASAN SHAHIH)

Perbedaannya terletak pada sisi, dimana Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam menyatakan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat. Sedangkan Imam Syafi'i menyatakan bahwa tidak semua bid'ah itu sesat, tetapi ada yang hasanah (baik) dan ada yang madzmumah (tercela). Maka bila kita konsisten dengan pengakuan kita bahwa kita bermadzhab Syafi'i, tentunya kita berpegang dengan apa yang menjadi prinsip Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Prinsip beliau dalam memahami Islam telah dinyatakan dalam beberapa penegasan beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hafidz Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Hilyatul Auliya' jilid 9 halaman 106 s.d. 107 sebagai berikut:

"Bila telah pasti keshahihan satu hadits bahwa itu dari Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam, maka aku pun berpendapat seperti yang tertera di hadits itu dan aku bermadzhab dengannya dan aku tetap berpendapat dengannya. Dan bila satu hadits itu tidak aku yakini keshahihannya, aku pun tidak berpegang dengannya dalam berpendapat."

Juga beliau menyatakan:

"Setiap aku berpendapat dengan suatu pendapat, dan ternyata pendapatku itu berbeda dengan riwayat shahih dari sabda Nabi Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam, maka hadits Nabi yang shahih itu lebih utama untuk kamu ikuti dan jangan bertaqlid (yakni ikut membabi buta –pent) kepadaku." (Al-Hilyah jilid 9 hal. 106-107).

Juga beliau menegaskan :

"Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorang pun." (Al-Hilyah jilid 9 hal. 106-107)

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi rahimahullah juga meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 34 pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah sebagai berikut:

Ar-Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi meriwayatkan: Aku mendengar Asy-Syafi'i menyatakan: "Apabila kalian mendapati dalam kitabku perkara yang berbeda dari Sunnah Rasulillah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam (yakni ajarannya), maka hendaknya kalian berpendapat sesuai dengan Sunnah itu, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan padanya."

Maka dengan berbagai riwayat pernyataan Al-imam Asy-Syafi'i tersebut, mestinya bila kita konsisten dengan madzhab Syafi'i, kita merujuk kepada sabda Nabi Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam tentang kenyataan bahwa bid'ah itu semuanya sesat. Dan kita meninggalkan pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa bid'ah itu tidaklah semuanya sesat, akan tetapi ada yang sesat dan ada yang hasanah (yang baik). Apalagi Imam Syafi'i dalam berijtihad sehingga melahirkan pendapat yang demikian itu berdalil dengan omongan Umar bin Khattab dan bukan berdalil dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kita meninggalkan pendapat seorang Imam karena pendapatnya tidak mencocoki Sunnah Nabi, bukanlah berarti kita mencerca atau menghina Imam tersebut. Akan tetapi kita meninggalkan pendapat beliau dalam satu masalah, adalah karena bimbingan beliau juga dalam mentaati Sunnah Nabi. Kita juga menilai pendapat seorang Imam itu tidak mencocoki Sunnah Nabi, bukan berarti kita menilai bahwa Imam tersebut telah menyimpang dari Sunnah Nabi. Akan tetapi kita menilai demikian karena kita diajari oleh beliau-beliau para Imam itu, bahwa seorang Imam itu tidaklah ma'shum (ma'shum itu maknanya ialah terjaga dari kemungkinan lupa dan salah dalam berijtihad memahami Islam) seperti ma'shumnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam. Bahkan Nabi kita mengajari kita bahwa kekeliruan dalam berijtihad itu sebagai orang yang mengemban ilmu Al-Qur'an dan As-Sunnah bukanlah tercela bahkan sebagai amalan yang diberi pahala oleh Allah dengan satu pahala. Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam bersabda:

"Apabila seorang hakim menetapkan satu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapat dua pahala. Dan apabila dia menetapkan satu hukum dengan berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya salah, maka dia dapat satu pahala." (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya kitab Al-I'tisham bil Kitab was Sunnah bab Ajril Hakim Idzajtahada fa Ashaba wa Akhta'a hadits ke 7352 dari Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu)

No comments: